Berikut ini beberapa kritikan terhadap pemikiran dan ilmu Habib Munzir tentang ilmu hadits.
PERTAMA : Habib Munzir berkata ;
“Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil“. (Kenalilah Akidahmu 2 hal 13)
SANGGAHAN
Istilah hadits mardud dan hadits munkar bukanlah istilah yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengungkapkan hadits palsu.
Hadits Mardud : adalah hadits yang tertolak untuk diamalkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy. Setelah menyebutkan tentang hadits maqbul yaitu hadits-hadits yang bisa dijadikan hujah dan diterima, Ibnu Hajar berkata :
“Kemudian al-Marduud, dan penyebab tertolaknya karena ada yang terjatuh dari sanad atau karena celaan terhadap perawi dengan berbagai model sisi pencelaan, dan pencelaan tersebut lebih umum dari sekedar celaan yang dikarenankan diin sang perawi atau kredibilitas hapalannya” (Nuzhatun Nadzor syarh Nukhbah Al-Fikar hal 80)
Tatkala menjelaskan perkataan Ibnu Hajar dalam Nukhbatul Fikar, Abdullah bin Husain Khoothir berkata :
“Perkataan Ibnu Hajr al-‘Asqolaaniy “Kemudian al-Marduud dst“, telah lalu bahwasanya hadits maqbuul adalah hadits yang diamalkan, dan ada empat macam; (1) shahih li dzaatihi, yaitu kuat dhobit nya dan tersambung sanadnya, atau (2) shahih lighoirihi, yaitu lemah dhobit nya, dan dia adalah (3) hasan li dzaatihi, dan jika hasannya karena banyaknya jalan-jalannya maka dia adalah (4) hasan lighoirihi.
Perkataan Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy “Dan penyebab tertolaknya” yaitu penyebab yang menyebabkan konsekuensi dari hadits mardud yaitu haram untuk diamalkan” (Haasyiah Luqoth Ad-Duror hal 71)
Dari sini jelas bahwa Habib Munzir telah keliru tatkala menyebutkan bahwa diantara nama-nama hadits palsu adalah hadits marduud
Hadits Munkar : Yaitu periwayatan perawi yang dhoif yang menyelisihi periwayatan para perawi yang tsiqoh. Adapun hadits Syaadz adalah periwayatan perawai yang tsiqoh yang menyelisihi periwayatan perawi yang lebih tsiqoh darinya.
Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy berkata ;
“Dengan demikian jelas bahwasanya antara hadits Syaadz dan hadits Munkar ada keumuman dan kekhususan dari satu sisi, karena keduanya bersepakat pada sisi adanya penyelisihan dan keduanya berbeda dari sisi bawhasanya hadits Syaadz adalah periwayatan peerawi yang tsiqoh atau shoduuq, dan hadits munkar adalah periwayatan perawi yang dhoiif. Dan telah lalai orang yang menyamakan antara keduanya, wallahu a’lam” (Nuzhatun Nador hal 73)
Bahkan sebagian ulama hadits –seperti Imam Ahmad bin Hanbal- menamakan periwayatan perawi yang tsiqoh yang bersendirian dalam periwayatannya sebagai hadits yang munkar, tanpa memandang apakah perawi terebut menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh darinya ataukah tidak menyelisihi (lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Hadyus Saary hal 392).
KEDUA :
Habib Munzir berkata, “Maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap – siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw”
SANGGAHAN
Sungguh tidak ada seorangpun -yang mengerti sedikit saja ilmu hadits- lantas mengatakan bahwa semua hadits dhoif adalah hadits palsu. Bahkan banyak ahli hadits yang menyatakan bahwa hadits palsu tidak boleh dimasukkan dalam klasifikasi hadits dhoif, karena hadits palsu bukanlah hadits.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pernyataan Habib Munzir “mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw”. Padahal Habib Munzir telah menjelaskan sebelumnya bahwa mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kekufuran.
Apakah Habib Munzir tidak tahu bahwasanya banyak para ulama yang menyatakan tidak boleh mengamalkan hadits dhoif secara mutlak??
Diantara para ulama tersebut adalah :
Pertama ; Yahya bin Ma’iin. Ibnu Sayyid An-Naas menjelaskan dalam bukunya ‘Uyyunul Atsar bahwasanya sebagian ulama –seperti Imam Ahmad- memberi rukhsoh/keringanan untuk meriwayatkan hadits-hadits dhoif tentang sejarah, nasab, kondisi Arab, dan lain-lain yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum (halal dan haram). Lalu beliau menyebutkan bahwasanya diantara para ulama yang tidak memberi keringanan sama sekali adalah Yahya bin Ma’iin. Ibnu Sayyid An-Naas berkata:
“Dan diantara yang diriwayatkan darinya penyamaan tentang hal ini antara hukum-hukum dan yang lainnya (*yaitu tentang sejarah dan peperangan) adalah Yahyaa bin Ma’iin” (‘Uyuunul Atsar fi Funuun Al-Maghoozi wa as-Syamaail wa as-Siyar 1/65)
Kedua : Imam Muslim, beliau berkata di muqoddimah shahih Muslim :
“Kemudian daripada itu –semoga Allah merahmatimu-, Maka kalau bukan karena yang kami lihat dari buruknya sikap banyak orang yang menyatakan dirinya sebagai muhaddits pada perkara yang mengharuskan mereka untuk membuang hadits-hadits dhoif dan riwayat-riwayat munkar, dan membiarkan mereka untuk mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih yang masyhuur yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang tsiqoot yang dikenal dengan kejujuran dan amanah…” (Shahih Muslim 1/6 pada muqoddimah)
Imam Muslim juga berkata:
“Ketahuilah –semoga Allah memberi taufiiq kepadamu- sesungguhnya yang wajib bagi setiap orang yang mampu membedakan antara riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat yang lemah, juga membedakan antara para tsiqoot yang menukil riwayat-riwayat dengan orang-orang yang tertuduh (*tidak tsiqoot) agar tidak meriwayatkan kecuali dari riwayat yang ia tahu shahihnya jalan-jalan sanadnya dan ketsiqohan para perawinya, dan agar ia menjauhi riwayat-riwayat yang diriwayatkan oleh para perawi yang tertuduh dan para penentang dari kalangan ahlul bid’ah” (Shahih Muslim 1/6 pada muqoddimah)
Ibnu Rojab berkata :
“Dzohir dari apa yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam muqoddimah kitabnya (*Kitab Shahih Muslim) menkonsekuensikan bahwasanya tidaklah diriwayatkan hadits-hadits tentang targhiib wa tarhiib (*tentang fadhooil al-a’maal) kecuali dari para perawi yang diriwayatkan dari mereka ahkaam (*tentang halal dan haram)” (Syarh ‘Ilal At-Thirimidzi 1/74)
Ketiga : Abu Zur’ah Ar-Roozi
Keempat : Abu Haatim Ar-Roozi
Kelima : Ibnu Abi Haatim, beliau berkata :
“Aku mendengar Ayahku (*yaitu Abu Haatim Ar-Roozi) dan Abu Zur’ah mereka berdua berkata ; “Hadits-hadits mursal tidak dijadikan hujah, dan tidaklah tegak hujah kecuali dengan sanad-sanad yang shahih yang muttasil (bersambung)”, demikian pula pendapatku” (Al-Maroosiil li Ibni Abi Haatim hal 7)
Keenam : Ibnu Hibbaan, beliau berkata
“Dan seorang perawi jika tidak ada seorang perawi yang tsiqoh yang meriwayatkan darinya maka ia adalah majhuul, tidak boleh berhujah dengannya, karena riwayat perawi yang dhoif tidak mengeluarkan seorang yang tidak ‘adl dari barisan para perawi majhuul kepada barisan para perawi yang ‘adl. Seakan-akan apa yang diriwayatkan oleh parawi yang dhoif dengan apa yang tidak diriwayatkannya hukumnya sama saja” (Al-Majruuhiin 1/327-328)
Dan dipahami dari perkataan Ibnu Hibbaan ini bahwasanya beliau menganggap periwayatan perawi yang dhoif sama hukumnya seperti tidak ada, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu a’lam
Ketujuh : Abu Sulaimaan Al-Khottoobi (wafat tahun 388 H)
Beliau rahimahullah telah mencela para fuqohaa (ahli fikih) yang tidak membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang dhoif. Beliau berkata :
“Adapun tingkatan yang lain mereka adalah para ahli fikih, sesungguhnya mayoritas mereka tidak menyinggung hadits kecuali sangatlah sedikit, dan hampir-hampir mereka tidak membedakan antara hadits shahih dengan hadits dho’if, dan mereka tidak mengetahui mana hadits yang baik dengan hadits hadits yang buruk, dan mereka tidak perduli untuk berhujah dengan hadits dhoif yang sampai kepada mereka –untuk mengalahkan musuh mereka- jika hadits dhoif tersebut sesuai dengan madzhab yang mereka anut dan sesuai dengan pendapat-pendapat yang mereka yakini. Mereka telah membuat kesepakatan diantara mereka untuk menerima hadits dhoif dan hadits munqoti’ (*terputus sanadnya) jika hadits tersebut sudah masyhuur di sisi mereka dan sering diucapkan oleh lisan-lisan di antara mereka, tanpa mengecek dulu atau tanpa keyakinan ilmu tentang hadits tersebut” (Ma’aalim As-Sunan 1/3-4)
Kedelapan : Ibnu Hazm (wafat 456 H)
Tatkala beliau membantah ahlul kitab, beliau berkata tentang cara kaum muslimin dalam penukilan khabar :
“Khobar yang dinukil –sebagaimana kami sebutkan-, yaitu dengan penukilan penduduk timur dan barat, atau penukilan banyak orang dari banyak orang, atau penukilan perawi tsiqoh dari perawi tsiqoh hingga sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kecuali jika di sanadnya ada seorang perawi yang majruuh (tercela) pendusta atau perawi yang lalai atau perawi yang majhuul al-haal, maka penukilan seperti ini dijadikan hujah oleh sebagian kaum muslimin. Dan tidak halal di sisi kami berpendapat dengan penukilan seperti ini dan membenarkannya, dan tidak halal mengambil sedikitpun dari penukilan seperti ini” (Al-Fishol fi al-milal wa al-Ahwaa wa an-Nihal 2/222)
Kesembilan : Abu Syaamah Al-Maqdisi As-Syafi’i (wafat tahun 665 H)
Beliau mengingkari Al-Haafiz Abul Qoosim Ibnu ‘Asaakir yang membawakan hadits “Barangsiapa yang berpuasa pada tanggal 27 Rojab maka Allah akan mencatat baginya puasa selama 60 bulan“, beliau berkata :
“Aku sangat berharap kalau Al-Haafiz (*Ibnu ‘Assakir) tidak mengatakan demikian, karena pada perkataannya tersebut terdapat penetapan hadits-hadits yang munkar. Sesungguhnya kedudukan beliau lebih tinggi dari untuk menyampaikan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta. Akan tetapi beliau dalam hal ini berjalan sesuai kebiasaan sekelompok ahli hadits dimana mereka bermudah-mudah pada hadits-hadits fadhooil a’maal. Dan hal ini menurut ahli tahqiiq dari kalangan ahli hadits dan juga para ulama ushuul dan fiqh merupakan kesalahan. Dan hendaknya ia menjelaskan perkara (*kelemahan) hadits tersebut jika ia mengetahuinya, kalau tidak maka ia akan termasuk dalam ancaman pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta” (Al-Baa’its ‘alaa inkaar Al-Bida’ wa Al-Hawaadits hal 72)
Kesepuluh : As-Syaukaaniy (wafat 1250 H)
Beliau mengkritik perkataan Ibnu Abdil Barr yang menyatakan bahwa para ulama bermudah-mudah pada periwayatan hadits dhoif dalam fadhoo’il a’maal, mereka hanyalah ketat dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.
As-Syaukaaniy berkata ;
“Sesungguhnya hukum-hukum syari’at sama saja (*baik masalah hukum maupun masalah fadhooil a’maal), tidak ada perbedaan diantaranya, maka tidak halal menetapkan suatu hukum dari hukum-hukum syari’at kecuali dengan dalil yang bisa dijadikan hujjah. Jika tidak maka ini merupakan bentuk pengada-ngadaan apa yang tidak dikatakan oleh Allah, dan hukuman perbuatan ini sudah jelas” (Al-Fawaaid Al-Majmuu’ah hal 254)
Kesebelas : Sidhiiq Hasan Khoon
Beliau berkata :
“Dan yang benar yang tidak ada pilihan selainnya bahwasanya hukum-hukum syari’at sama saja, maka tidak boleh beramal dengan suatu hadits hingga hadits tersebut shahih atau hasan lidzaatihi atau hasan lighoirihi atau dhoifnya terangkat hingga naik menjadi hasan lidzaatihi atau lighoirihi” (Nuzul Al-Abroor bi al-‘Ilm al-Ma’tsuur min al-Ad’iyah wa al-Adzkaar hal 7-8)
Apakah para ulama ini menurut Habib Munzir telah mendustakan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Lantas apakah selanjutnya mereka dihukum kafir oleh Habib Munzir..??!!. Saya sampai bingung menghadapi vonis-vonis nekat dari Habib Munzir. Membedakan antara mayat dan orang hidup dikatakan kufur dan kesyirikan yang nyata?? (lihat kembali), menolak mengamalkan hadits-hadits dhoif dikatakan mendustakan ucapan Nabi dan merupakan kekufuran??!!
Apakah ada satu saja ulama…atau satu saja ustadz yang berpendidikan yang berpendapat seperti pendapat Habib Munzir ini bahwasanya menolak mengamalkan seluruh hadits dhoif melazimkan mendustakan ucapan Nabi??? Yang hal ini merupakan kekufuran??. Bukankah Habib Munzir memiliki sanad hingga Imam As-Syafii, bahkan hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas apakah ada para ulama yang sanad Habib Munzir sampai kepada mereka yang berpendapat seperti Habib Munzir ini??!!!!
Permasalahan mengamalkan hadits dhoif dalam fadhooil a’maal merupakan permasalah khilafiyah diantara para ulama. Hal ini telah dijelaskan oleh As-Sakhoowiy dalam kitabnya Al-Qoul Al-Badii’ fi as-Sholaat ‘alaa al-Habiib As-Syafii’ hal 363-366). Mayoritas Ulama membolehkan untuk mengamalkan hadits-hadits dho’iif dalam fadhooil a’maal dan untuk at-targhiib wa at-tarhiib (bukan dalam hukum-hukum), akan tetapi mereka memberi persyaratan untuk mengamalkannya.
Al-Haafizh As-Sakhoowi menyebutkan bahwasanya guru beliau –yaitu Imam Ibnu Hajr Al-‘Asqolaani- memberi 3 persayaratan untuk mengamalkan hadits dhoif.
Beliau berkata :
“Sungguh aku telah berulang kali mendengar guruku (*Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy) berkata, -dan ia telah menulis dengan khot (*tulisan tangan) beliau :
“Sesungguhnya syarat mengamalkan hadits dho’if ada tiga :
Pertama : Persyaratan yang disepakati yaitu kedhoifannya tidak boleh parah, karenanya tidak termasuk periwayatan bersendirian dari para pendusta dan para perawi yang tertuduh dusta serta perawi yang parah kesalahannya
Kedua : Amalan yang dilakukan berada di bawah asal (*hukum) yang umum, karenanya tidak termasuk amalan yang diada-adakan yang tidak memiliki asal hukum sama sekali
Ketiga : Tatkala mengamalkannya hendaknya ia tidak meyakini shahihnya hadits tersebut agar ia tidak menyandarkan (menisbahkan) kepada Nabi apa yang tidak diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Hajar berkata : Dua syarat yang terakhir dari Al-‘Izz bin Abdis Salaam dan sahabatnya Ibnu Daqiiq al-‘Iid, dan adapun syarat yang pertama maka Al-‘Alaai menukilkan adalah kesepakatan akan syarat ini” (Al-Qoul al-Badii’ 363-364)
Keempat : Agar orang yang mengamalkannya tidak menampak-nampakkan amalannya. Persyaratan ini disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqolaaniy dalam kitabnya Tabyiinul ‘Ajab Bi Maa Waroda fi Fadhli Rojab. Beliau berkata :
“Bersamaan dengan itu (*yaitu bolehnya membawakan hadits dhoif dalam fadhooil a’maal) hendaknya disyaratkan agar orang yang mengamalkannya meyakini bahwa hadits tersebut dhoif, dan hendaknya ia tidak menampak-nampakan (menyohorkan) hal itu, agar seseorang tidak mengamalkan hadits dhoif sehingga iapun mensyari’atkan apa yang bukan syari’at. Atau ada sebagian orang jahil yang melihatnya (*mengamalkan hadits dhoif) sehingga iapun menyangka bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang shahih.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Ustaadz Abu Muhammad Ibni Abdis Salaam dan yang lainnya. Dan hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ; “Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta”, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengamalkannya.??
Dan tidak ada perbedaan dalam mengamalkan hadits dalam ahkaam (hukum-hukum) dan dalam fadhooil a’maal, karena semuanya adalah syari’at” (Tabyiinul ‘Ajab hal 11-12)
Maka apakah Habib Munzir dan demikian juga para pengikutnya tatkala mengamalkan dan menyampaikan hadits-hadits dhoiif sudah menelaah dan mengamalkan persyaratan-persyaratan yang dipasang oleh Ibnu Hajar di atas??!!
Bahkan dari penjelasan Ibnu Hajar pada persyaratan yang keempat (dalam kitabnya Tabyiinul ‘Ajab) nampak bahwa beliau condong pada pendapat untuk tidak mengamalkan hadits dhoif sama sekali baik dalam masalah hukum maupun masalah fadhooil a’maal karena kedua-duanya merupakan syari’at, dan syari’at tidaklah dibangun di atas hadits yang dhoiif.
KETIGA : Habib Munzir berkata :
“Karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.
Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap – siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229)”
SANGGAHAN
Habib Munzir membawakan dua hadist sebagai dalil bahwa mendustakan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kekufuran.
Para pembaca yang budiman, ini merupakan pendalilan yang tidak pada tempatnya bahkan pemutarbalikan fakta, hal ini jelas dari dua sisi :
Pertama : Hadits-hadits ini digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan bahayanya orang yang memalsukan hadits dan menyandarkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam sebuah riwayat dengan lafal
مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang mengatakan atas namaku apa yang tidak aku ucapkan maka persiapkanlah tempatnya di neraka” (HR Al-Bukhari no 109)
Maka sangatlah jelas bahwa hadits-hadits ancaman tersebut berkaitan dengan orang yang menyampaikan suatu perkataan (hadits) yang tidak pernah diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berbeda dengan orang yang menolak hadits Nabi karena ragu dengan kesahihannya. Menolak hadits berbeda dengan memalsukan hadits, dan dua hadits di atas yang habib sebutkan serta hadits yang saya sebutkan berkaitan dengan orang yang memalsukan hadits.
Karenanya tolong Habib Munzir untuk menyebutkan siapakah para ulama yang berdalil dengan hadits ini untuk mengancam orang yang menolak hadits Rasulullah ? dan juga terlebih lagi Ulama siapakah yang telah berdalil dengan hadits ini untuk mengancam orang yang menolak seluruh hadits dhoif??!!. Apakah Habib Munzir tidak membaca perkataan para ulama tentang syarh (penjelasan) isi dalil ini??!!
Kedua : Bahkan sebagian ulama justru berdalil dengan hadits ini untuk mengancam orang-orang yang menyampaikan hadits-hadits dho’if kemudian menyatakan bahwa Rasulullah telah menyabdakan hadits-hadits dhoif tersebut, tanpa menjelaskan kedhoifannya, karena hadits dhoif adalah hanya merupakan persangkaan yang marjuuh.
Allah telah mencela persangkaan (zhon) yang tidak kuat (marjuh) dalam banyak ayat, diantaranya : firman Allah
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran (QS Yuunus : 36)
إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka (QS Al-An’aam : 116)
Al-Qoodhi Abul Mahaasin yusuf bin Muusaa Al-Hanafi berkata dalam kitabnya “Al-Mu’tashor”, pada sub judul ; “Tentang berdusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”
“Allah berfirman ((Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali dengan al-haq/yang benar)), dan perkataan dari Rasulullah adalah perkataan atas nama Allah. Al-Haq pada ayat ini seperti al-Haq dalam firman Allah
إِلا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ
Kecuali orang yang menyaksikan dengan al-Haq/kebenaran (QS Az-Zukhruf : 86)
Maka setiap orang yang mempersaksikan dengan zhon (prasangka) maka ia telah mempersaksikan dengan selain al-Haq, karena zhon tidaklah memberikan kebenaran sama sekali. Maka demikian pula orang yang menyampaikan sebuah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan zhon/persangkaan maka ia telah menyampaikan dari Nabi dengan selain al-Haq, maka hal ini merupakan kebatilan, dan kebatilan adalah dusta. Maka jadilah ia salah seorang dari para pendusta atas nama Nabi, dan termasuk orang-orang yang masuk dalam sabda Nabi ((Barangsiapa yang berdusta atasku maka bersiaplah mengambil tempatnya di neraka)), dan kita berlindung dari hal ini” (Al-Mu’tashor min al-Mukhtashor min Musykil al-Aatsaar 2/262)
Dan perkataan al-Qoodhi Abul Mahaasin ini merupakan ringkasan dari perkataan Abu Ja’far At-Thowaawi Al-Hanafi (wafat 321 H) sebagaimana termaktub dalam kitabnya “Musykil al-Aatsaar 1/373-375) silahkan para pembaca merujuk kitab tersebut (saya tidak menukilnya di sini karena terlalu panjang untuk diterjemahkan)
Dan paling tidak –sebagaimana menurut sebagian ulama- jika seseorang bermudah-mudahan menyandarkan hadits dhoif kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menjelaskan kedhoifannya maka dikawatirkan ia telah terjerumus dalam kedustaan. Telah lalu perkataan Al-Haafiz Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy : “Bersamaan dengan itu (*yaitu bolehnya membawakan hadits dhoif dalam fadhooil a’maal) hendaknya disyaratkan agar orang yang mengamalkannya meyakini bahwa hadits tersebut dhoif, dan hendaknya ia tidak menampak-nampakan (menyohorkan) hal itu, agar seseorang tidak mengamalkan hadits dhoif sehingga iapun mensyari’atkan apa yang bukan syari’at. Atau ada sebagian orang jahil yang melihatnya (*mengamalkan hadits dhoif) sehingga iapun menyangka bahwa amalan tersebut adalah sunnah yang shahih.
Makna ini telah dijelaskan oleh Al-Ustaadz Abu Muhammad Ibni Abdis Salaam dan yang lainnya. Dan hendaknya seseorang berhati-hati agar tidak termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ; “Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta”, maka bagaimana lagi dengan orang yang mengamalkannya.??” (Tabyiinul ‘Ajab hal 11)
Al-Munaawi As-Syafii tatkala menjelaskan hadits ((Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits yang menurutnya adalah dusta maka ia adalah salah seorang dari para pendusta)) beliau berkata :
“(*Sabda Nabi) “Maka ia adalah salah seorang dari para pendusta” dengan konteks jamak (*أحد الكَاذِبِيْنَ= salah seorang dari para pendusta) yaitu ditinjau dari jumlah banyak orang-orang yang meriwayatkan, dan dengan konteks tasniyah/dua (*أحد الكَاذِبَيْنِ = salah seorang dari dua pendusta) yaitu ditinjau dari pendusta (pencetus hadits palsu tersebut) dan yang menukil dari sang pendusta. Yang lebih masyhuur adalah dengan konteks jamak sebagaimana dalam kitab Ad-Diibaaj.
Maka tidak boleh bagi seseorang yang meriwayatkan hadits untuk berkata : “Rasulullah bersabda” kecuali jika ia mengetahui shahihnya hadits tersebut, dan ia berkata pada hadits dhoif : “Telah diriwayatkan..” atau “Telah sampai kepada kami…”. Jika ia meriwayatkan hadits yang ia tahu atau ia persangkakan merupakan hadits palsu lantas ia tidak menjelaskan keadaannya maka ia termasuk dalam barisan pendusta, karena ia telah membantu sang pemalsu hadits dalam menyebarkan kedustaannya, maka iapun ikut menanggung dosa, seperti seseorang yang menolong orang yang dzolim. Oleh karenanya sebagian tabi’in takut untuk menyandarkan hadits kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia menyandarkan hadits kepada sahabat dan berkata, “Dusta atas nama shahabat lebih ringan” (Faidhul Qodiir 6/116).
Al-Imam An-Nawawi berkata
“Para ulama ahli tahqiq (*ahli peneliti) dari kalangan ahli hadits dan yang lainnya telah berkata : Jika hadits dho’if maka tidak boleh dikatakan pada hadits tersebut :”Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, atau “Telah mengerjakan” atau “Telah memerintahkan”, atau “Telah melarang”, atau “Rasulullah telah berhukum”, dan yang semisalnya dari shigoh al-jazm” (Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Beliau juga berkata :
“Mereka (*para ulama ahli tahqiq) berkata : Shigoh jazm diletakan untuk hadits-hadits yang shahih atau hasan, dan shigoh tamriidl digunakan untuk selain hadits-hadits shahih dan hasan. Hal ini karena shigoh jazm mengharuskan shahihnya perkataan dari yagn disandarkan perkataan tersebut. Karenanya tidak semestinya digunakan kecuali pada hadits yang shahih, dan jika tidak, maka seseorang maknanya telah berdusta atas namanya. Dan adab ini telah dilanggar oleh penulis (As-Syiroozy) dan mayoritas ahli fikih dari madzhab syafii dan yang selainnya, bahkan dilanggar oleh mayoritas para ahli ilmu-ilmu secara mutlak, kecuali para ahli hadits yang cerdik. Dan hal ini merupakan sikap bermudah-mudahan yang buruk. Sering mereka berkata pada hadits yang shahih : “Telah diriwayatkan dari Nabi”, dan (sebaliknya) mereka berkata tentang hadits dhoif, “Rasulullah telah bersabda”, “Si fulan telah meriwayatkan”, dan ini merupakan bentuk penyimpangan dari kebenaran” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Al-Baghowiy berkata, “Segolongan dari para sahabat dan para tabiin membenci untuk terlalu banyak menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir terjatuh dalam penambahan lafal hadits atau pengurangan atau kesalahan. Bahkan diantara para tabiin ada yang takut menisbahkan hadits kepada Rasulullah, lalu iapun menisbahkannya kepada sahabat dan berkata, “Dusta atas nama seorang sahabat lebih ringan dari pada dusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam…semua itu karena penghormatan kepada hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kekawatiran terjerumus dalam ancaman” (Syarh As-Sunnah 1/255-256)
Karenanya barangsiapa yang memilih pendapat bolehnya meriwayatkan hadits dhoif dalam fadhoilul a’maal maka hendaknya ia menjelaskan kedhoifan hadits tersebut dan juga memperhatikan empat persyaratan yang disebutkan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy.
Penutup
Sebagai penutup artikel ini maka saya menyebutkan bahwasanya diantara manaqib Imam As-Syafi’i rahimahullah –sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam An-Nawawi- bahwasanya Imam As-Syafii sangat bersungguh-sungguh dalam menolong hadits-hadits Nabi dan mengikuti sunnah, serta sangat berusaha mengamalkan hadits-hadits yang shahih dan membuang hadits-hadits yang dhoif.
Imam An-Nawawi berkata :
“Dan diantara manaqib (kebaikan-kebaikan) Imam As-Syafii adalah ijtihad (kesungguhan) beliau dalam menolong hadits-hadits Nabi dan dalam mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…sampai-sampai tatkala beliau datang ke Iraq maka beliau dijuluki dengan penolong hadits-hadits Nabi”(Al-Majmuu’ 1/27)
Imam An-Nawawi juga berkata :
“Dan diantara manaqib Imam As-Syafii rahimahullah adalah berpegang teguhnya beliau terhadap hadits-hadits yang shahih dan berpalingnya beliau dari hadits-hadits yang lemah dan dhoif. Dan kami tidak mengetahui seorangpun dari para ahli fikih yang memberi perhatian dalam berhujjah dengan membedakan antara hadits yang shahih dengan hadits yang dhoif sebagaimana perhatian Imam As-Syafii” (Al-Majmuu’ hal 28)
(Bersambung…)
Mekah, 28 Dzulqo’dah 1423 H /26 Oktober 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
Artukel: www.firanda.com